IDENTITAS NASIONAL
1.
Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi
Identitas
nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri
khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain
dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka
Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah
tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini
dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam
satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan
roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat
identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan
kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan UUD kita, sistem
pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos,
ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam
pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan
bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi
bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis,
melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan
hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Kata
"globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar
definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang
melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses
sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan
budaya masyarakat.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian..
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye.)
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila, dalam melaksanakan kegiataan sehari-hari. Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian..
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye.)
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila, dalam melaksanakan kegiataan sehari-hari. Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.
2. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi Nasional
Indonesia
Berbagai peristiwa
sejarah di negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan kesatuanlah
yang membawa negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Besarnya kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit tidaklah mengalami proses kejayaan yang cukup lama,
karena pada waktu itu persatuan cenderung dipaksakan melalui ekspansi perang
dengan menundukkan Negara- Negara tetangga.
Sangat berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum proklamasi tersebut telah didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersatu dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928)
Dilihat dari banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budaya yang ada membuat bangsa ini menjadi rentan pergesekan, oleh karena itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara.
Dilihat dari bentuknya Pancasila merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang luhur. Pancasila dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut dalam kisah pewayangan melambangkan anak yang berjuang mencari air suci untuk ibunya, sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung tersebut sebuah perisai yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang pada jaman dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu ancaman dari dalam maupun dari luar yaitu dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila.
Sangat berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum proklamasi tersebut telah didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersatu dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928)
Dilihat dari banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budaya yang ada membuat bangsa ini menjadi rentan pergesekan, oleh karena itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara.
Dilihat dari bentuknya Pancasila merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang luhur. Pancasila dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut dalam kisah pewayangan melambangkan anak yang berjuang mencari air suci untuk ibunya, sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung tersebut sebuah perisai yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang pada jaman dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu ancaman dari dalam maupun dari luar yaitu dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila.
Dalam pidato bahasa Inggris di
Washington Sukarno telah mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari bangsa
Amerika yang mana Sukarno pada waktu itu mengenalkan ideologi Indonesia yaitu
Pancasila. Panca berarti Lima dan sila berarti landasan atau dasar yang mana
dasar pertama Negara Indonesia ini dalah berdasar Ketuhanan, kedua berdasar
Kemanusiaan, ketiga persatuan , dan keempat adalah demokrasi, serta kelima
adalah keadilan social. Seringkali bangsa kita ini mengalami disintegrasi dan
kemudian bersatu kembali konon kata beberapa tokoh adalah berkat kesaktian
Pancasila. Sampai pemerintah juga menetapkan hari kesaktian pancasila tanggal 1
Oktober. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Pancasila hingga saat ini masih
kuat relevansinya bagi sebuah ideology Negara seperti Indonesia ini.
Untuk itu dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
Untuk itu dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
3. Revitalisasi Pancasila sebagai Pemberdayaan Identitas
Nasional
Suatu bangsa harus
memiliki identitas nasional dalam pergaulan internasional. Tanpa national
identity, maka bangsa tersebut akan terombang-ambing mengikuti ke mana angin
membawa. Dalam ulang tahunnya yang ke-70, bangsa Indonesia dihadapkan pada
pentingnya menghidupkan kembali identitas nasional secara nyata dan
operatif.Identitas nasional kita terdiri dari empat elemen yang biasa disebut
sebagai konsensus nasional. Konsensus dimaksud adalah Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Indonesia
merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman budaya,
agama dan lain-lain. Sehingga diberi seloka Bhineka Tunggal Ika yang dapat
diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan. Namun Bhineka Tunggal Ika itu
sedikit demi sedikit sudah terkikis nilai-nilainya oleh perkembangan jaman. Oleh sebab itu, kita perlu merevitalisasi pancasila
sehingga nilai-nilai pancasila bisa dikembalikan lagi dan menguatkan kembali
nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika sehingga diterapkan kembali.
Revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti "Membela Pancasila Sampai Mati" atau "Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan" menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.
Revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti "Membela Pancasila Sampai Mati" atau "Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan" menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.
Karena itu, Pancasila harus dilihat
sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara otomatis akan tertanam
pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita- cita, seperti kehidupan
rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan bertahap. Dengan
demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan guna mencapai
cita-cita itu. Selain perlunya penegasan bahwa Pancasila adalah
cita-cita, hal penting lain yang dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila dalam
tataran ide adalah mencari maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda
karena dengan memeras Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri,
namun dari sisi- Strategi
kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno, jika
perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot
yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila.
Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong
Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
SUMBER : Prof. Dr. Kaelan, M.S (2010). Filsafat
Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
0 komentar:
Posting Komentar